TEMPAT TINGGAL KAUM MENAK PRIANGAN

https://doi.org/10.61296/jkbh.v7i2.322

Penulis

Kata Kunci:

Priangan; Kaum menak; gaya hidup; regents woning; pendopo; pendekatan multidimensi; eksplanasi.

Abstrak

Nama wilayah Priangan, semula adalah Sumedanglarang. Ketika diserahkan kepada Sultan Agung dari Mataram, namanya diubah menjadi Priangan. Selanjutnya sesudah jatuh ke tangan Pemerintah Hindia Belanda Gubernur Jenderal H.W. Daendels pada tahun 1808 menetapkan Priangan menjadi  Prefectuur Preanger-Regentschappen dan pada masa pemerintahan  Inggris (1811-1816), Thomas Stamford Raffles, diganti menjadi Keresidenan Priangan,  yang terdiri atas lima kabupaten yaitu; Bandung, Cianjur, Sumedang, Limbangan, dan Sukapura. Pemerintahan di setiap kabupaten dijalankan oleh kelompok aristokrasi lokal di bawah pengawasan penjajah. Kelompok aristokrasi lokal, yang disebut kaum ménak ini, terdiri atas para bupati, bawahan bupati, dan sanak kerabat mereka. Kaum menak memiliki gaya hidup (style of life) tersendiri, termasuk memiliki tempat tinggal khusus yang membedakan mereka dengan rakyat kecil. Dalam tulisan ini secara khusus akan diuraikan tentang tempat tinggal kaum menak di Priangan, sejak 1800 hingga 1942. Berbagai informasi yang beragam itu dikoroborasikan untuk menghasilkan suatu rekontruksi tentang tempat tinggal kaum menak di Priangan. Untuk itu dilakukan penelitian menggunakan metode sejarah yang terdiri atas empat tahap yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi.  Untuk memberikan eksplanasi tentang tempat tinggal kaum menak  diperlukan pendekatan yang bersifat multidimensi, selain pendekatan historis juga dilakukan pendekatan filologis, antropologis dan sosiologis.Tempat tinggal kaum menak semula bergaya aristektur seperti keraton dengan pendopo di depannya. Selanjutnya  karena pengaruh Eropa, gaya arsitektur itu bercampur dengan gaya barat dan lebih dikenal sebagai regent-woning (rumah bupati) dengan perabotan yang bergaya keraton.

Referensi

Adimihardja et al., Kusnaka. (1981). Tipe Rumah Tradisional Khas Sunda di Jawa Barat, Bandung.

De Commissie voor Het Adatrecht. (1914). Adatrechtbundel. VIII, XXIII, 'sGraven-hage: Martinus Nijhoff.

Djajadiningrat, P.A.A. (1937). Kenang-kenangan Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat. Batavia: Balai Pustaka-Kolff-Buning.

Eerde, J,C, van (1943). De Volken van Nederlandsch-indie; In Monographieen, II, Amsterdam: Elsevier.

Ekadjati, Edi S. (ed.), 1991. Wawacan Carios Munada, Bandung; Fakultas Sastra Unpad.

Hermansoemantri, Emuch. (1979). Sajarah Sukapura; Sebuah Telaah Filologis. Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.

Hoevell, WR van. (1849). Reis over Java, Madura, en Bali, eerste deel, Amsterdam: P.N. van Kampen.

Kartadibrata, R.M.A. (1989). Riwayat Kangjeng Pangeran Koesoemaadinata (Pangeran Kornel); Bupati Sumedang 1791-1828. Sumedang: Museum Prabu Geusan Ulun.

Kartadinata, Mas. 1921. Rasiah Priangan, Weltevreden: Volkslectuur.

Kunto, Haryoto. (1986). Semerbak Bunga di Bandung Raya, Bandung, Granesia.

Lubis, Nina H. (1998). Kehidupan Kaum Menak Priangan. Bandung: Pusat Informasi Kebduayaan Sunda.

Martanagara, R.A.A. (1923) . Babad Radén Adipati Aria Martanagara, Bandoeng; Aurora.

Mayer, L. Th. t.t. Een Blik in het Javaansche Volksleven, Leiden: E.J. Brill.

Soedarpo, Mien. (1994). Reminiscences of The Past, Jakarta: Sinar Harapan.

Soeria Nata Atmadja, R.A.A.A. (1940). De Regenten Positie. Bandoeng: A.C. Nix & Co.

Sutherland, Heather. (1983). Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, (terj.), Jakarta, Sinar Harapan,

Tim Peneliti Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad, (1991). Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, Bandung: Pemda Tingkat I Propinsi Jawa Barat dan Fakultas Sastra Unpad.

Tim Peneliti Sejarah Galuh. (1972). Galuh-Ciamis dalam Tinjauan Sejarah.

Volksalmanak Soenda, (1919).

Diterbitkan

2025-06-25